Selasa, 18 Oktober 2016

JANGAN TAKUT DENGAN "MEA": SEBUAH PESAN UNTUK PASCASARJANA DI INDONESIA


Persaingan di bursa tenaga kerja akan semakin meningkat sejak para pemimpin Asean sepakat untuk membentuk sebuah pasar tunggal di kawasan Asia Tenggara sejak akhir 2015 kemarin. Ini akan mempengaruhi banyak orang, terutama pekerja yang berkecimpung pada sektor keahlian khusus. Masyarakat Ekonomi Asean tidak hanya membuka arus perdagangan barang atau jasa, tetapi juga pasar tenaga kerja profesional, seperti dokter, pengacara, akuntan, dan lainnya.

Pembentukan pasar tunggal yang diistilahkan dengan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) ini nantinya memungkinkan satu negara menjual barang dan jasa dengan mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia Tenggara sehingga kompetisi akan semakin ketat.

Staf Khusus Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Dita Indah Sari, menjelaskan bahwa MEA mensyaratkan adanya penghapusan aturan-aturan yang sebelumnya menghalangi perekrutan tenaga kerja asing. "Pembatasan, terutama dalam sektor tenaga kerja profesional, didorong untuk dihapuskan," katanya. "Sehingga pada intinya, MEA akan lebih membuka peluang tenaga kerja asing untuk mengisi berbagai jabatan serta profesi di Indonesia yang tertutup atau minim tenaga asingnya."

Namun beliau juga menyatakan tidak ingin "kecolongan" dan mengaku telah menyiapkan strategi dalam menghadapi pasar bebas tenaga kerja. "Oke jabatan dibuka, sektor diperluas, tetapi syarat diperketat. Jadi buka tidak asal buka, bebas tidak asal bebas," katanya. "Kita tidak mau tenaga kerja lokal yang sebetulnya berkualitas dan mampu, tetapi karena ada tenaga kerja asing jadi tergeser. Sejumlah syarat yang ditentukan antara lain kewajiban berbahasa Indonesia dan sertifikasi lembaga profesi terkait di dalam negeri.

Dengan akan dimulainya MEA diantara Negara-Negara ASEAN secara otomatis akan meningkatkan persaingan antar industri maupun tenaga kerja di Indonesia. Dikarenakan dalam MEA mengharuskan akses keluar dan masuknya barang serta jasa dari luar negeri lebih mudah tanpa hambatan. Sehingga persaingan antar masyarakat global akan meningkat secara signifikan, terutama peluang tenaga kerja asing yang masuk ke Indonesia pun akan meningkat dalam menempati berbagai jabatan profesi.

Berdasarkan data statistik per Februari 2014 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa rata-rata pendidikan tenaga kerja Indonesia masih didominasi oleh tingkat pendidikan SD ke bawah yaitu sebanyak 55,3 juta orang (46,80%) dan SMP sebanyak 21,1 juta (17,82%). Pekerja berpendidikan tinggi hanya sebanyak 12,0 juta orang mencakup 3,1 juta orang (2,65%) berpendidikan Diploma dan sebanyak 8,8 juta orang (7,49%) berpendidikan Universitas.

Perlu dipahami bahwa tersedianya jumlah tenaga kerja yang tinggi belum tentu mampu menghadapi persaingan industri kerja. Namun juga harus dibarengi dengan kualitas individu yang baik untuk menghadapi MEA. Tingkat pendidikan yang rendah serta minimnya keahlian khusus yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia kelak akan menjadi salah satu hambatan dalam berkompetisi dalam MEA. Bukan hanya kemampuan bahasa yang harus dikuasai, namun kemampuan hard skill dan soft skill, serta mental sangat penting untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja Indonesia. Dengan dilaksanakannya MEA ini, seharusnya menjadi cambuk bagi Pemerintah Indonesia dalam meningkatkan sumber daya dalam negeri terutama sumberdaya Manusia (SDM).
Salah satu penyiapan sumber daya manusia adalah melalui jalur pendidikan tinggi yaitu pada mahasiswa-mahasiswa yang ada di kampus. Perguruan tinggi menjadi ladang yang sangat luas untuk menggali ilmu yang diperlukan dimasa depan. Sehingga mahasiswa yang lulus diharapkan sudah mempunyai beberapa kompetensi atau memiliki kemampuan (skill) pada dirinya.
Lulusan perguruan tinggi dituntut harus memiliki hard skills dan soft skills. Sehingga terjadi keseimbangan dalam mencapai tujuan hidup. Oleh sebab itu, pembinaan karakter pada mahasiswa perlu dibangun dengan kepercayaan diri, motivasi diri, manajemen waktu, kreatifitas dan inovatif, berpikir positif, serta membangun komunikasi yang baik dengan orang lain. Kemampuan-kemampuan tersebut dapat dilatih dan dikembangkan melalui pendidikan, organisasi, dan pelatihan-pelatihan khusus. Dengan demikian pendidikan tinggi berperan penting dalam pembentukan karakter anak bangsa.
Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat, sebagaimana dinyatakan oleh Nurokhim (dikutip Paryanto, dkk 2013:127), ternyata kesuksesan seseorang tidak semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skills) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20% hard skill dan sisanya 80% oleh soft skilli. Ketika pendidikan terlibat menyambut datangnya pasar tunggal Asean 2015, sejatinya adalah mempersiapkan sumber daya manusia yang terampil peka dan kritis. Pendidikan karakter merupakan solusi dalam rangka menyambut era Masyarakat Ekonomi Asean.
Perguruan tinggi merupakan institusi yang memiliki peran strategis dalam pencapaian tujuan pensisikan secara makro. Tujuan pendidikan tinggi diatur dalam pasal 2 PP No.60 tahun 1999 adalah sebagai berikut: (1) Menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan teknologi dan/atau kesenian. (2) mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.
Menurut Farida (2012:450) pendidikan karakter di Perguruan Tinggi merupakan kelanjutan dari implementasi pendidika karakter di sekolah (PAUD-SLTA). Jenjang perguruan tinggi merupakan jenjang terakhir dari pendidikan formal yang harus ditempuh peserta didik. Setelah melalui tahap ini, peserta didik akan menjadi tenaga kerja yang siap bersaing pada pasar global.
Sayangnya perguruan tinggi kurang memberikan porsi pada pembentukan dan pengembangan karakter mahasiswa. Bahkan Arthur (dalam Sykri, 2009) menyatakan jika perguruan tinggi menjanjikan pembentukan dan pengembangan karakter mahasiswa seperti yang terjadi di Inggris, semua itu hanya retorika institusi universitas modern. Sementara itu, menurut Syukri (2009) masyarakat Indonesia masih menaruh harapan pada perguruan tinggi sebagai tempat latihan dan pendidikan putra putrinya menjadi kaum intelektual yang memiliki ilmu tinggi dan perilaku terpuji.
Disisi lain, misi perguruan tinggi adalah pengajaran dan aplikasi ilmu pengetahuan sehingga secara eksplisit pembentukan karakter dianggap bukan merupakan tugas perguruan tinggi. Oleh karena itu implementassi pendidikan karakter di perguruan tinggi akan menemui banyak tantangan tersediri. Anggapan bahwa karakter seseorang sudah terbentuk sebelum masuk perguruan tinggi dan merupakan tanggung jawab orangtua untuk menbentuk karakter anaknya. Selain itu perguruan tinggi khususnya dosen, tidak memiliki kepentingan dengan pembentukan karakter, karena mereka direkrut bukan untuk melakukan hal tersebut.
Keengganan perguruan tinggi di barat seperti Inggris dan Amerika Serikat, mengurus masalah moral antara lain karena masalah moral merupakan wilayah pribadi dan mereka dipengaruhi oleh ideologi liberal yang telah menjadi gaya hidup.
Uraian diatas menggambarkan bahwa meskipun pendidikan karakter di perguruan tinggi bisa melengkapi puzzle karakter yang belum terbentuk pada tingkatan pendidikan sebelumnya, namun hal tersebut tidak akan berjalan dengan mudah . Meskipun demikian, perguruan tinggi tidak boleh lepas tangan atau lepas tanggung jawab dengan alasan apapun termasuk menganggap bahwa karakter sudah terbentuk sebelum mahasiswa masuk perguruan tinggi, apalagi dengan alasan beban berat menghasilkan lulusan sesuai tuntutan pasar.
Untuk mewujudkan pembentukan karakter Schwartz (2000)  menyatakan universitas, baik yang berlatar belakang religius maupun sekuler, dapat menggunakan kekuatan kurikulumnya, khususnya efek baiknya, untuk membentuk pemikiran tetapi juga karakternya. Kurikulum ini tidak saja membentuk intelectual habits namun juga moral habits mahasiswa.
Hal yang tak kalah penting menurut Syukri (2009) adalah kejujuran  perguruan tinggi akan ketidakmampuannya untuk berdiri sendiri menyelenggarakan pendidikan karakter. Perguruan tinggi harus mengakui bahwa kerjasama dengan stake holder, dalam hal ini orang tua dan masyarakat sekitar adalah penting. Disinilah perguruan tinggi harus bersikap bijak. Jangan terlalu sibuk dengan gelar sementara hal substansial lain terabaikan. Selain memiliki ilmu yang mumpuni, para alumni perguruan tinggi harusnya juga diuji karakter dan sikapnya. Sehingga mereka memang layak untuk menyandang gelar Magister maupun Doktor.
Harapannya, Pascasarjana mampu mencetak para Magister dan Doktor yang tidak hanya berilmu tetapi juga berkarakter. Sehingga mereka mampu bersaing tidak hanya di negaranya tetapi juga di dunia Internasional.
Referensi
Evienia, dkk. 2014. Pandangan Pelaku Pendidikan di Universitas terhadap Pemberlakukan Masyarakat Ekonomi Asean 2015 Bina Ekonomi Majalah Ilmiah Fakultas Ekonomi Unpar. 107 Vol.18 No.2 agustus 2014
Farida, Ida. 2012. Model Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi: Langkah Strategis dan Implementasinya di Universitas. Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.3, No.1.
Kemendiknas, Dirjen Dikti. 2011. Panduan Hibah Penyusunan Buku Model Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi. Jakarta: Dirjen Dikti.
Schwartz, AJ.(2000). It’s Not to Late to Teach College Student about Values. The Chronicle of Higher Education. Vol 46. No. 40.pg A68
Sumintono, Bambang, dkk. 2012. Pendidikan Moral di Malaysia: Tantangan dan Implementasi Pendidikan Karakter, tahun II, No.1 februari 2012.
Syukri (2009). Peran Pendidikan di Perguruan Tinggi terhadap Perubahan Perilaku Kaum Intelektual (sosial-individu). Jurnal Ilmiah Kreatif. Vol 6 no1, hal 1 – 15.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar